IDSW 2025 Lightning Talk - Why Local Tech Communities are Important and How to Run Them

Date: 2025/11/22
Categories: Community
Tags: Community

A 5-minute lightning talk session is surprisingly difficult for me, so this blog post serves as a backup in case I can’t properly deliver what I want to say. Thank you for reading!


Teman-teman, nama saya Piko. Saya lahir dan tumbuh di pulau Lombok, sebelahnya Bali.

Latar Belakang

Tahun 2015, saya pindah ke Jabodetabek. Setelah 1 tahun di sini, perasaan saya campur aduk. Di satu sisi saya senang banget karena di sini banyak sekali event-event tech yang bisa saya ikuti dan membantu saya bertumbuh kembang sebagai software engineer secara profesional dan memberikan saya bermacam-macam opportunity. Namun di sisi lain saya sedih banget. Saya mikir, kok yang kayak gini ga ada ya di daerah atau di kota-kota kecil (saat itu). Saya yakin teman-teman di daerah pun banyak yang berpotensi namun tumbuh kembang mereka bisa jadi tidak secepat kita-kita yang di Jakarta karena eksposur yang mereka dapatkan terkait perkembangan dalam bentuk tech sharing session tidak sebaik yang kita dapatkan.

Misal saya tinggal di Lombok, apa iya saya harus beli tiket pesawat bolak-balik tiap bulan hanya untuk datang ke event-event tech yang ada di Jakarta dan sekitarnya. Itu tidak masuk akal buat siapa pun. Virtual meetup dengan Zoom atau Google Meet tidak dapat menggantikan keuntungan/kelebihan yang dibawa oleh pertemuan tatap muka.

^ In case you don’t know where Lombok is.

Aksi

Tahun 2017, berdasarkan pengalaman yang didapat dari event-event teknologi di Jakarta terutama setelah saya mencoba mengisi tech talk di JakartaJS pada 2016, kami (Saeful Bahri dan saya sendiri) mencoba untuk bikin event tech di Lombok yang dimanage secara remote dari Jakarta dengan menggerakkan komunitas lokal yang baru saja terbentuk di tahun sebelumnya. Banyak pihak yang kami hubungi via telepon satu per satu, mulai dari sponsor (perusahaan-perusahaan lokal di kota Mataram), venue (kafe-kafe kecil yang kira-kira berkenan menyewakan tempatnya di harga yang masuk akal), sampai teman-teman yang saya kenal di komunitas untuk saya ajak mereka berkontribusi sebagai pembicara.

Sehari sebelum acara kami terbang ke Lombok untuk mengurus acaranya secara langsung dan acara itu akhirnya terwujud dengan pesertanya mencapai 100 orang. Melebihi ekspektasi kami semua.

Dampak

Dampak dari acara tersebut besar sekali.

Temen-teman developer/engineer di lombok akhirnya bisa dapat gambaran seperti apa sih event tech yang proper dan bisa menjadi wadah yang nyaman untuk saling berbagi. Setelah acara selesai, saya balik ke Jakarta kemudian saya menyaksikan teman-teman saya di Lombok bisa melanjutkan kegiatan-kegiatan berkomunitas sampai saat ini. Mereka tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk menikmati apa yang sekarang kita nikmati. Malah yang terjadi kebalikannya, mereka kadang-kadang berhasil mengundang orang dari luar Lombok untuk ikut berpartisipasi di event mereka. Sejauh ini kami sudah menyelenggarakan 12 meetups, 2 workshop, sebuah bootcamp, beberapa virtual meetup saat pandemi, dan banyak kegiatan lainnya.

Yang paling penting, komunitas ini membuka jalan bagi banyak orang, kesempatan untuk berjejaring, mengembangkan kemampuan dan pengetahuan serta mendapatkan pekerjaan yang lebih baik untuk teman-teman di Lombok. Dari tahun ke tahun, saya menyaksikan sendiri orang-orang bertumbuh bersama-sama dengan komunitas ini.

Yang tidak terduga adalah gerakan di komunitas Lombok Dev tersebut mendorong terbentuknya komunitas-komunitas lainnya di pulau Lombok.

Selain itu jaringan orang-orang daerah Lombok yang merantau ke Jakarta dan kota besar lainnya mulai terbentuk dan saling dukung untuk keberlangsungan komunitas di Lombok.

Tantangan

Menurut saya, lebih mudah untuk bikin tech event di Jabodetabek karena ekosistemnya lebih mendukung. Saya sendiri pernah aktif mengurus komunitas di Jabodetabek, yaitu GLiBogor (GNU/Linux Bogor). Tapi di daerah dan kota-kota kecil, tantangannya agak berbeda dan saya ingin membahas itu.

Tantangan pertama: Sponsorship dan dana

Lebih sulit mencari sponsor di daerah. Hampir semua perusahaan teknologi berkantor di kota-kota besar. Dari sudut pandang bisnis, tidak begitu masuk akal mensponsori acara kecil dengan eksposur kecil di kota kecil.

Sejauh pengalaman kami, ada 3 cara untuk mengatasi ini, yaitu :

  1. Dengan donasi sukarela dari kita-kita sendiri yang sudah punya cukup penghasilan sebagai bentuk kontribusi balik ke komunitas
  2. Dengan memungut biaya tiket dari peserta acara. Memungut tiket berbayar ini saya dapat inspirasinya dari BandungDev dan saya rasa itu adalah pendekatan yang paling sustainable.
  3. Yang ketiga ini yang paling tidak terbayangkan tapi beneran dieksekusi oleh teman-teman di Lombok, yaitu bersama-sama menggarap proyekan rekayasa perangkat lunak dan sebagian kuntungannya disisihkan untuk kas komunitas. Usaha ini pertama kali diinisiasi oleh Hayi Nukman dan hasilnya dapat membiayai beberapa acara.

Sebenarnya masih banyak jalan lain untuk mendapatkan dana, yang penting kita saling dukung dan tidak membiarkan rekan-rekan kita di komunitas bekerja sendirian.

Begitu kita punya dana yang cukup, kita bisa lebih percaya diri untuk bernegoisasi dengan pemilik tempat / venue dan memastikan acara dapat berjalan dengan lancar.

Jika dana tidak cukup, jangan sungkan untuk bernegosiasi dengan kampus atau pemerintah setempat untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk tempat penyelenggaraan acara.

Dana-dana ini perlu dikelola secara bersama-sama dengan pertanggungjawaban yang tercatat. Contoh: https://github.com/LombokDev/Meetup002/blob/master/keuangan.md

Tantangan kedua: Orang-orang yang bekerja secara sukarela untuk komunitas

Tidak setiap orang berkenan terus-terusan bekerja secara sukarela mengurus komunitas. Di satu titik kita pasti berharap ada yang mau menggantikan kita. Tapi bagaimana cara meyakinkan penerus kita? Di kota besar populasinya lebih padat dan kesempatan regenerasi lebih besar. Di kota kecil yang populasinya jauh lebih sedikit, adanya 4L. Lu Lagi Lu lagi!

Untuk mengatasi ini, kita harus punya execution framework dalam bentuk SOP yang mudah dan jelas untuk dikerjain dan kalau dikerjain itu tidak terasa sebagai beban, melainkan jadi lebih hepi. Orang baru yang mau terjun kontribusi pun ikut hepi. Kalau yang muda-muda sedang capek, yang tua-tua terjun kembali mengurus komunitas pun masih gampang karena sudah ada petunjuk yang tinggal diikuti dan bahan-bahan yang siap dipakai ulang.

Dengan framework ini, kita tidak perlu memanage orang-orang di komunitas. Execution frameworklah yang memanage mereka. Orang-orang datang dan pergi namun framework acara selalu siap sedia untuk dibaca dan dieksekusi kembali.

Dalam paket lengkap, tim eksekusi acara dapat dibagi menjadi:

  1. Koordinator
  2. Publikasi
  3. Registrasi (including payment, call for speakers, feedback form)
  4. Perlengkapan/korlap (including managing venue)
  5. Moderator
  6. Dokumentasi

Dalam bentuk yang lebih lean sebenarnya cuma butuh 2 orang (seperti yang terjadi di Meetup kedua Lombok Dev):

  1. Koordinator, Perlengkapan, Moderator
  2. Publikasi, Registrasi, Dokumentasi

Referensi:

Tantangan ketiga: Emang siapa yang mau dateng?

Sekali lagi, populasi di daerah atau kota kecil itu jauh lebih sedikit. Dulu sempat mikir, emang ada ya yang bakal datang? Tapi ternyata ada dan banyak. Di jaman sekarang pekerja remote sudah lumrah. Di Meetup007 tahun 2019, saya bertemu dengan Aziz, seorang pekerja remote di Lombok yang bekerja dengan perusahaan luar negeri dan berhasil menyakinkan beliau untuk ikut mengisi topik dengan judul “Lika-liku Pekerja Remote”.

Di daerah, kita perlu usaha lebih keras untuk mengumpulkan orang-orang dan membuat semuanya terhubung. Bagian publikasi perlu:

  1. Lakukan pendekatan dan tempel poster di kampus dan sekolah-sekolah yang memiliki jurusan rekayasa perangkat lunak dan TKJ.
  2. Kelola akun-akun sosial media dan pastikan orang-orang yang terhubung selalu dikabari tentang acara.
  3. Pasang iklan di akun influencer lokal untuk memastikan informasi tentang acara menjangkau lebih banyak pihak.
  4. Bicarakan komunitas dan event ini dengan lebih banyak orang.

Tantangan keempat: Mencegah komunitas rusak dan mati

Banyak komunitas mati bukan karena gagal regenerasi, tapi karena ada orang-orang yang memelihara sikap toxic, diskriminasi, harassment, abuse, exclusivity, dan senioritas yang tidak sehat. Sebuah komunitas harus punya guidelines atau code of conduct untuk mencegah semua itu terjadi dan orang-orangnya harus aktif untuk saling mengingatkan satu sama lain. Kumpulan aturan-aturan tersebut akan memastikan bahwa setiap orang punya kesempatan yang sama dan ruang mereka untuk kontribusi dilindungi dengan baik. Orang-orang datang dan pergi, aturan komunitas yang baik akan menjaga orang-orang terbaik untuk berkontribusi lebih lama.

Saya rasa ini adalah tantangan di semua komunitas, bukan hanya komunitas yang ada di daerah. Baca renungan saya tentang topik ini di sini: https://aguno.xyz/post/2025/01/05/community/

Code of Conduct yang disepakati di Lombok Dev sejak 7 tahun yang lalu: https://github.com/LombokDev/wiki/blob/master/code-of-conduct.md

Selamat berkomunitas!

Bagaimana kalau komunitas tech di daerah teman-teman belum ada? Teman-teman bisa mulai dengan ngumpul ngopi-ngopi, ngobrol dengan kawan seprofesi. Cobain dulu sesering mungkin, lalu angkat topik soal menyelenggarakan event sharing seperti ini.

Teman-teman kita di daerah punya tantangan-tantangan tersendiri. Mereka butuh dukungan kita untuk memastikan perkembangan-perkembangan di profesi kita ini bisa terdistribusi dengan baik, bahkan sampai ke Merauke. Kalau kita bisa mengatasi ini, maka secara tidak langsung kita membantu mengangkat kapasitas SDM di Indonesia, terutama di kalangan pengrajin kode.

Bulan depan saya akan terbang kembali ke Lombok untuk mengurus Lombok Dev Meetup yang ke 13 bersama teman-teman di Lombok dan membawa insight tentang IDSW.

Selamat berkomunitas!



>> Home